Parahyangan Genta: The Song of Blood in the Land of Tumapel

Chapter 3: Kawi Slope Wind Science



3.1: Echoes of Victory and Whispers of Doubt

Dawn broke over the eastern horizon, a slow but inevitable process. It tore away the thick veil of night with its pale fingers of light, then slowly painted the sky with impossible colors. The clouds in the sky, once gray like extinguished charcoal, now began to blush with shades of violet and orange, before finally igniting in a glorious golden light. The clear morning dew, dripping from every leaf and tip of grass, glittered like priceless gems scattered by the gods on the green carpet of the mountains. A new life seemed to be beginning, bringing with it a fresh breath of cool and pure air, cleansing the remnants of the night's tension and filling the lungs with hope.

In the courtyard of their cave hideout, hidden behind stone walls and a tangle of ancient roots, the atmosphere was different than usual. There was a new energy pulsing in the air, a thrill of victory that was almost palpable. Some of Arok's followers, especially the younger and more passionate ones, could not hide the glint of triumph in their eyes. They gathered in small groups, some around dying campfires, others under the shade of shady trees, recounting the story of the raid on Jatiwangi with passion and dramatic flourish. Their laughter, previously restrained by caution, now sounded crisper and more free, an outpouring of joy long suppressed in the depths of their suppressed souls.

"You should have seen Ki Glondong's face when Kakang Arok broke his machete!" exclaimed a thin but agile young man named Kertu. He was the natural storyteller among them. His eyes lit up as he leaped to his feet, reenacting the scene with gusto. He grabbed a thick branch and, using all his strength, snapped it on his knee, making a loud crack. "His face, which was red like a boiled crab… clap!… instantly turned as white as cotton! I swear, I saw a little water well up in those greedy eyes!"

The others greeted him with a roar of laughter that echoed through the rocks. They could all picture the scene vividly, a sight that brought immense satisfaction. Mahesa, one of the main characters in the night's drama, stood in their midst, his chest deliberately puffed out. His face beamed with undisguised pride. He was a young panther who had just successfully captured his first major prey, and he wanted the whole forest to know it. He relished every glance of admiration and praise directed at him.

"Itu belum seberapa," sahut Mahesa dengan nada pongah yang dibuat-buat santai, sambil menerima sebuah tempurung kelapa berisi air jernih dari salah seorang rekannya. "Jika saja Kakang Arok memberiku isyarat, kepala tambun itu sudah menggelinding di lantai pendapa. Tapi Sang Kakang memiliki pertimbangannya sendiri, pertimbangan seorang senapati agung." Ia mengatakannya seolah-olah ia adalah satu-satunya yang mengerti kedalaman strategi Arok, menempatkan dirinya sebagai letnan yang paling dekat dan paling paham.

Namun, ironisnya, di tengah keriuhan yang merayakan kepemimpinannya itu, Arok justru menyendiri. Ia memilih untuk menjauh dari kehangatan api dan gema kemenangan. Ia duduk bersila dengan punggung lurus di atas sebuah batu datar yang menjorok ke arah jurang, membelakangi kawan-kawannya. Posisi itu memberinya pemandangan tak terhalang ke arah cakrawala, menembus lautan kabut yang masih bergulung-gulung tebal di lembah di bawahnya. Wajahnya yang setajam pahatan batu itu tampak tenang laksana permukaan telaga di pagi buta. Namun di dalam dadanya, perasaannya bergemuruh laksana badai di tengah samudra.

Kemenangan semalam tidak memberinya kepuasan yang ia harapkan. Sebaliknya, ia meninggalkan sebuah endapan keresahan yang aneh dan dingin di dasar kalbunya. Ia telah menyalakan api, itu benar. Api harapan di hati rakyat Jatiwangi. Tapi ia juga menyalakan api lain, api kebanggaan dan nafsu di hati para pengikutnya. Dan ia sadar betul, api yang tak terkendali bisa berbalik membakar tuannya sendiri. Ia memutar ulang kejadian semalam di benaknya. Bukan adegan heroik saat ia mematahkan golok, tetapi momen-momen kecil yang lain. Getar ketakutan di tubuh Ki Demang. Mata para prajurit yang terbelalak ngeri sebelum pingsan. Dan yang paling mengganggunya, kilat kepuasan yang brutal di mata Mahesa saat melumpuhkan lawannya. Ia takut, sangat takut, bahwa mereka sedang menikmati kekerasan itu sendiri, bukan lagi sekadar sebagai alat untuk mencapai keadilan.

Tanca, yang sejak tadi mengamati semua itu dari mulut gua, melihat segalanya dengan kacamata kebijaksanaannya. Ia melihat keriuhan para pemuda, kebanggaan Mahesa, dan yang terpenting, keterasingan Arok. Dengan langkahnya yang mantap dan nyaris tak bersuara—sebuah kebiasaan yang menunjukkan kedalaman ilmunya—ia perlahan melangkah mendekati Arok. Ia tidak membawa aura penghakiman, hanya kehadiran yang tenang. Ia berhenti di samping Arok, ikut memandang hamparan kabut yang sama di bawah mereka.

"Langit yang indah pagi ini," ucap Tanca, membuka percakapan dengan suara rendah dan serak. "Sebuah pertanda baik, mungkin. Para dewa tersenyum atas perjuangan kita.

Arok tidak menoleh. Pandangannya tetap terpaku pada kabut yang bergerak perlahan, seolah mencari jawaban di sana. "Langit bisa menipu, Paman. Di balik keindahannya, ia bisa menyimpan badai yang dahsyat. Badai yang datang tanpa peringatan dan mampu menumbangkan pohon jati yang paling kokoh sekalipun."

Tanca tersenyum tipis, sebuah senyum penuh pemahaman. "Sama seperti di dalam hati manusia, bukan? Di luar tampak tenang dan penuh kemenangan, di dalam bergolak tak menentu. Kau tidak tampak seperti seorang pemenang pagi ini, Arok. Beban apa yang masih kau pikul? Bukankah malam tadi adalah kemenangan murni? Kau berhasil mencapai semua tujuanmu tanpa menumpahkan darah."

Arok menghela napas panjang, sebuah hembusan yang seolah melepaskan sebagian beban berat di dadanya, mengubahnya menjadi uap yang lenyap di udara pagi. "Aku mendengar tawa mereka, Paman," katanya pelan, suaranya nyaris berbisik. "Aku melihat binar di mata mereka. Seharusnya aku bahagia. Tapi aku justru merasa resah. Aku khawatir, kemenangan kecil ini akan melahirkan keangkuhan. Mereka tidak lagi melihat penderitaan rakyat Jatiwangi sebagai alasan utama kita bergerak. Mereka mulai melihatnya sebagai panggung untuk kepahlawanan mereka. Mereka menikmati rasa takut di mata lawan, mereka menikmati rasa superioritas."

Ia berhenti sejenak, matanya yang tajam kini meredup, menampakkan kerapuhan yang jarang ia tunjukkan. "Aku khawatir, niat awal kita yang suci untuk membebaskan rakyat akan tercemar oleh kesenangan menumpahkan darah dan mempermalukan lawan. Aku khawatir, tujuan akhir kita akan bergeser dari 'keadilan untuk semua' menjadi 'kekuasaan untuk kita'. Aku khawatir, kita hanya akan menjadi badai baru yang menggantikan badai yang lama, menghancurkan segalanya dengan alasan yang terdengar mulia."

Hati Tanca tergetar mendengar kejujuran dan kedalaman pemikiran itu. Pemuda di hadapannya ini benar-benar istimewa. Ia tidak dibutakan oleh kemenangan. Justru kemenangan itulah yang membuatnya semakin waspada. Ia bukan sekadar seorang pemimpin gerombolan, melainkan seorang pemikir, seorang ahli siasat yang tidak hanya menimbang langkah berikutnya, tetapi juga seratus langkah setelahnya. Ia menimbang dampak setiap tindakan tidak hanya pada musuh, tetapi juga pada jiwa orang-orangnya sendiri.

"Kekhawatiranmu beralasan, Arok. Bahkan lebih dari sekadar beralasan, itu adalah kekhawatiran yang wajib dimiliki oleh setiap pemimpin sejati," jawab Tanca dengan suara yang mantap. "Kekuasaan, bahkan dalam bentuk yang paling kecil sekalipun, adalah candu yang memabukkan. Ia lebih berbahaya dari tuak yang paling keras. Ia bisa meresap ke dalam tulang sumsum, mengubah niat paling suci menjadi nafsu paling keji. Kemenangan adalah pedang bermata dua. Satu sisi menebas musuh, sisi lainnya bisa tanpa sadar menebas nurani kita sendiri."

Tanca meletakkan tangannya yang kokoh di bahu Arok. "Tapi justru karena kau memiliki kekhawatiran inilah, aku percaya padamu. Pemimpin yang berbahaya adalah mereka yang tidak pernah meragukan diri mereka sendiri. Tugasmulah sebagai pemimpin, sebagai penjaga api, untuk terus-menerus mengingatkan mereka, dan dirimu sendiri, tentang tujuan awal kita. Tugasmulah untuk menjaga agar api di dalam dada kita tetap menyala murni, membakar ketidakadilan, bukan membakar habis welas asih dan nurani kita sendiri. Dan itu adalah tugas yang jauh lebih berat daripada mengalahkan seratus prajurit Tumapel."

Percakapan mendalam mereka tiba-tiba terpotong oleh suara Mahesa yang lantang, penuh semangat dan tanpa beban, memecah keheningan mereka. "Kakang Arok!"

Arok dan Tanca menoleh serempak. Mahesa berjalan ke arah mereka dengan langkah tegap, diikuti oleh Kertu dan beberapa pemuda lainnya yang menatap dengan penuh kekaguman. Api semangat masih menyala-nyala terang di mata mereka, sebuah kontras yang tajam dengan perbincangan muram yang baru saja terjadi. Gema kemenangan masih begitu kuat di telinga mereka, menulikan bisik-bisik keraguan yang menghantui pemimpin mereka.

***

3.2: Tarian Batu dan Angin

Mahesa mendekat dengan langkah tegap, sorot matanya yang berkilat-kilat mencerminkan api semangat yang belum padam sejak semalam. Di belakangnya, beberapa pemuda lain mengikuti seperti anak-anak ayam mengikuti induknya, wajah mereka penuh dengan kekaguman yang nyaris memuja. Mereka berhenti beberapa langkah dari Arok dan Tanca, namun energi mereka yang bergelora seolah menciptakan riak di udara pagi yang tenang.

"Kakang, kami semua mengakui kehebatanmu semalam. Tidak ada satu pun di antara kami yang meragukan kepemimpinanmu," Mahesa memulai, suaranya lantang dan tulus. Ia menatap Arok dengan tatapan seorang murid yang haus ilmu. "Pukulanmu yang merontokkan golok Ki Glondong tanpa menyentuhnya sungguh luar biasa. Seperti petir yang menyambar dari langit cerah! Kami semua membicarakannya sepanjang pagi."

Ia berhenti sejenak, mengambil napas, seolah mengumpulkan keberanian untuk permintaannya. "Tapi, justru karena itu, aku masih penasaran. Kami semua penasaran. Kami ingin menjajal sampai di mana sesungguhnya kedalaman ilmumu itu. Izinkan aku, sebagai wakil dari kawan-kawan semua, untuk menguji Ilmu Macan Kumbang-ku dengan ilmumu, Kakang." Ia buru-buru menambahkan, menyadari kemungkinan permintaannya terdengar lancang. "Hanya sebuah latihan persahabatan, tentu saja! Bukan untuk mencari menang atau kalah, tapi untuk memacu semangat kami semua. Agar kami tahu sejauh mana kami harus berlatih untuk bisa sehebat dirimu."

Permintaan itu menggantung di udara. Tanca mengerutkan keningnya, sedikit khawatir permintaan itu akan dianggap sebagai tantangan. Namun, Arok melihat lebih dari itu. Di balik nada yang sedikit pongah, ia melihat sorot mata Mahesa yang jujur, dipenuhi rasa ingin tahu yang murni, bukan sebuah tantangan yang dilandasi kesombongan atau iri hati. Ia melihat dirinya sendiri beberapa tahun yang lalu pada diri Mahesa: seorang pemuda yang bersemangat, penuh tenaga, dan selalu ingin membuktikan diri serta mengukur kemampuannya. Ia juga melihat sebuah kesempatan emas. Bukan untuk memamerkan kekuatan, tetapi untuk menanamkan sebuah pemahaman, sebuah piwulang (ajaran) yang tak akan bisa disampaikan hanya dengan kata-kata. Sebuah pelajaran yang harus dirasakan langsung melalui gerak tubuh dan benturan energi.

Arok bangkit dari duduknya. Gerakannya luwes dan tanpa usaha, seperti air yang mengalir ke atas. Sebuah senyum tipis, yang pertama kali terlihat tulus pagi itu, tersungging di bibirnya. "Permintaan yang bagus, Adi Mahesa," jawab Arok, suaranya tenang dan bersahabat. "Sebuah pedang harus sesekali diadu dengan batu asah agar ketajamannya teruji. Baiklah, aku terima ajakanmu. Tapi seperti katamu, ini bukan pertarungan. Anggaplah ini sebuah tarian antara dua kekuatan yang berbeda. Tarian antara batu dan angin."

Kabar tentang "latihan tanding" antara Arok dan Mahesa menyebar lebih cepat dari api di padang ilalang. Semua pengikut mereka, yang tua dan yang muda, segera menghentikan kegiatan mereka dan berkumpul di pelataran yang lebih luas, sebuah area datar yang dikelilingi bebatuan besar. Mereka membentuk lingkaran yang rapat, wajah mereka penuh antisipasi. Mereka semua ingin menyaksikan dua orang terkuat di antara mereka mengadu kepandaian. Ini bukan sekadar tontonan, tetapi juga sebuah kesempatan langka untuk belajar.

Mahesa melangkah ke tengah lingkaran lebih dulu. Dengan sebuah geraman rendah, ia mengambil posisi. Ia merendahkan tubuhnya, menekuk lututnya hingga hampir sejajar dengan tanah. Kuda-kudanya kokoh dan kuat, seolah kakinya telah berubah menjadi akar yang mencengkeram bumi. Kedua tangannya membentuk cakar macan yang siap menerkam, otot-otot di lengan dan bahunya menegang, menunjukkan kekuatan laten yang luar biasa. Dari seluruh sikapnya, terpancar aura serangan yang buas, agresif, dan tak kenal ampun. Ia adalah perwujudan dari seekor macan kumbang yang lapar.

Di seberangnya, Arok berdiri dengan sikap yang sangat kontras. Ia hanya berdiri tegak dengan santai, nyaris tanpa kuda-kuda. Kedua tangannya terkulai lemas di sisi tubuh, bahunya rileks, dan ekspresinya tenang. Tidak ada aura permusuhan, tidak ada ketegangan. Ia tampak seperti sebatang ilalang yang pasrah pada hembusan angin, atau seorang pertapa yang sedang bermeditasi. Bagi mata yang tak terlatih, ia tampak sama sekali tidak berbahaya, sebuah sasaran empuk.

Ketegangan di antara penonton begitu pekat hingga bisa dipotong dengan pisau. Mereka menahan napas.

"Bersiaplah, Kakang!" geram Mahesa, suaranya menggetarkan udara.

Dengan sebuah teriakan yang meledak dari dadanya, Mahesa menerjang maju. Tanah di bawah kakinya seolah bergetar. Gerakannya dahsyat, cepat, dan lurus ke depan, laksana seekor macan kumbang yang menerkam mangsanya dari persembunyian. Pukulan tangan kanannya yang terkepal melesat lurus mengarah ke dada Arok, membawa serta angin yang berdesir tajam dan kekuatan yang mampu meretakkan batu.

Namun, yang terjadi selanjutnya membuat semua yang menonton menahan napas karena tak percaya. Tepat sepersekian detik ketika pukulan itu hampir mengenai sasaran, tubuh Arok sedikit bergeser ke samping, hanya seujung rambut. Gerakannya begitu halus, ringan, dan ekonomis, seolah ia tidak memiliki bobot atau tulang. Ia tidak melompat atau mengelak dengan panik, ia hanya… bergeser. Pukulan dahsyat Mahesa yang membawa seluruh momentum tubuhnya lewat begitu saja, hanya mengenai ruang kosong di mana dada Arok berada sesaat yang lalu. Tenaga yang telah ia kerahkan sepenuhnya menjadi sia-sia, membuat tubuhnya sedikit terhuyung ke depan karena kehilangan target.

Mahesa tidak menyerah. Pengalamannya dalam pertarungan membuatnya mampu memulihkan keseimbangan dengan cepat. Ia berputar seperti gasing, mengubah momentum ke depan menjadi sebuah tendangan memutar yang mengincar pinggang Arok. Sebuah serangan lanjutan yang cerdas dan mematikan.

Namun lagi-lagi, Arok bergerak dengan cara yang tak terduga. Kali ini ia tidak mengelak ke samping. Sebaliknya, ia sedikit melangkah maju, masuk ke dalam jarak serangan. Gerakan ini sangat berbahaya dan berlawanan dengan naluri bertahan hidup manapun, karena ia justru mendekati sumber bahaya. Akan tetapi, justru itu yang membuat tendangan Mahesa kehilangan kekuatannya sebelum mencapai puncak. Seperti busur panah yang dilepaskan sebelum ditarik penuh, tendangan itu tidak memiliki daya hancur yang maksimal. Arok kemudian menempelkan telapak tangannya dengan lembut di paha Mahesa yang sedang menendang, seolah hanya menahannya agar tidak terjatuh. Namun sentuhan ringan itu entah bagaimana berhasil menyerap dan menetralkan seluruh sisa kekuatan tendangan Mahesa, meredamnya hingga menjadi tak berarti.

Mahesa meloncat mundur, mengambil jarak. Napasnya mulai memburu, bukan hanya karena pengerahan tenaga, tetapi juga karena frustrasi. Wajahnya menunjukkan keheranan yang luar biasa. Ia merasa seperti sedang mencoba memukul angin atau bayangannya sendiri di air. Setiap serangannya yang penuh tenaga dan niat membunuh selalu menemui kekosongan atau diredam dengan sentuhan yang terasa meremehkan.

"Kenapa kau tidak melawan, Kakang?!" seru Mahesa, suaranya mulai terdengar frustrasi. "Apakah kau meremehkanku?!"

Arok tersenyum tipis, senyum seorang guru yang sabar. "Aku sedang melawan, Adi. Tapi tidak dengan caramu. Aku melawan seranganmu, bukan dirimu

Tanpa menunggu jawaban, Mahesa kembali menyerang. Kali ini, ia lebih cerdik. Ia tidak lagi menggunakan serangan tunggal yang lurus ke depan. Ia melancarkan serangkaian serangan kombinasi. Pukulan jab yang cepat untuk memancing, diikuti oleh tendangan rendah yang menyapu kaki, lalu pukulan sikut yang mengincar kepala. Ia bergerak mengelilingi Arok, mengubah arah serangan secara tiba-tiba, mencoba membingungkan lawannya.

Menghadapi serbuan yang lebih rumit ini, Arok pun mulai "menari". Tubuhnya meliuk, kakinya bergerak dalam langkah-langkah segitiga yang tak terduga, pundaknya bergoyang, kepalanya menunduk dan terangkat. Ia seperti daun kering yang dipermainkan angin puyuh, tampak kalang kabut dan terus-menerus di ambang bahaya, namun tak pernah sekalipun tersentuh secara telak. Tangannya sesekali bergerak, bukan untuk menangkis dengan keras, melainkan untuk menepuk atau mendorong dengan lembut siku, bahu, atau lutut Mahesa. Setiap sentuhan itu tampak ringan, tetapi selalu berhasil membuat arah serangan lawannya sedikit melenceng dari sasaran, atau membuat kuda-kuda Mahesa sedikit goyah.

Semua yang menonton terkesima. Mereka menyaksikan sebuah pemandangan yang luar biasa, sebuah tarian antara dua elemen yang kontras. Mahesa adalah batu besar yang terus-menerus menggelinding, mencoba menghancurkan segalanya dengan kekuatan kasar. Arok adalah angin yang tak berbentuk, yang mengelilingi batu itu, membelokkan arahnya sedikit demi sedikit, mengikis energinya tanpa pernah berbenturan langsung. Mahesa yang menyerang dengan begitu dahsyat tampak semakin lelah, napasnya semakin memburu, dan keringat mulai membasahi pelipisnya. Sementara Arok yang terus-menerus bergerak mengelak, justru tampak masih segar bugar. Napasnya tetap dalam dan teratur, seolah ia hanya sedang berjalan-jalan pagi.

Frustrasi Mahesa mencapai puncaknya. Ia merasa dipermainkan. Harga dirinya sebagai petarung terhebat kedua di antara mereka terasa tercabik-cabik. Ia mengambil keputusan nekat. Ia harus mengakhiri "tarian" ini, apa pun risikonya. Ia mengaum keras, sebuah auman yang bukan lagi teriakan perang, melainkan pekik frustrasi seekor binatang buas yang terperangkap. Ia meloncat mundur, mengambil jarak beberapa langkah, lalu mengumpulkan seluruh sisa tenaga dan daya batinnya pada satu titik. Udara di sekelilingnya seolah bergetar.

"Terimalah ini, Kakang! Serangan terakhir! Cakaran Maut Macan Kumbang!"

Ia melesat maju, lebih cepat dari semua serangannya sebelumnya. Kedua tangannya yang membentuk cakar dengan jari-jari yang dikeraskan, mengarah lurus ke dada Arok. Ini adalah serangan pamungkasnya, sebuah jurus yang diajarkan oleh mendiang ayahnya, yang mampu merobek lempengan baja sekalipun. Sebuah serangan yang mempertaruhkan segalanya, serangan yang tidak menyisakan ruang untuk mengelak atau bertahan.

Para penonton menjerit tertahan. Bahkan Tanca pun sedikit mencondongkan tubuhnya, cemas.

Kali ini, Arok tidak lagi mengelak. Ia berhenti menari. Ia berdiri diam, menanti datangnya badai itu.

***

3.3: Piwulang di Tepi Jurang

Arok berdiri diam, kakinya seolah menyatu dengan bumi. Di tengah badai serangan yang diciptakan Mahesa—sebuah pusaran pukulan dan tendangan yang menyasar seluruh bagian tubuhnya—Arok tetap tenang. Tubuhnya bergerak lincah, meliuk ke kiri dan ke kanan, maju dan mundur dengan irama yang tak terduga, seolah memiliki nalarnya sendiri. Ia seperti daun kering yang dipermainkan angin puyuh, tampak kalang kabut dan selalu berada di ambang bahaya, namun tak pernah sekalipun tersentuh. Tangannya yang luwes sesekali bergerak, bukan untuk menangkis dengan benturan keras, melainkan untuk menepuk atau mendorong dengan lembut siku, bahu, atau lutut Mahesa. Setiap sentuhan itu, yang tampak ringan dan nyaris tanpa tenaga, entah bagaimana selalu berhasil membuat arah serangan lawannya sedikit melenceng dari sasaran, atau membuat kuda-kuda Mahesa sedikit goyah, mengganggu keseimbangan alaminya.

Arok tidak melawan api dengan api. Ia menjadi air yang mengalir di sekitar api itu, menyerap panasnya tanpa harus memadamkannya secara paksa. Ia tidak melawan kekuatan dengan kekuatan. Ia menjadi kekosongan yang menelan kekuatan itu, membuatnya menjadi sia-sia.

Semua yang menonton terkesima, mata mereka terpaku pada tarian yang luar biasa itu. Mereka melihat sebuah pemandangan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Mahesa, sang macan kumbang yang menyerang dengan begitu dahsyat, tampak semakin lelah. Napasnya kini memburu seperti hembusan pandai besi, dan keringat telah membasahi seluruh wajah dan punggungnya, membuat pakaiannya melekat di kulit. Sementara Arok, yang terus-menerus bergerak mengelak dan menari, justru tampak masih segar bugar. Napasnya tetap dalam dan teratur, seolah ia hanya sedang melakukan pemanasan ringan. Perbedaan daya tahan itu begitu mencolok, sebuah bukti nyata dari efisiensi ilmu yang mereka anut.

Melihat serangannya yang ganas tak membuahkan hasil, dan tenaganya terkuras habis hanya untuk mengejar bayangan, Mahesa mengambil keputusan nekat. Frustrasi dan harga diri yang terluka membakar sisa-sisa logikanya. Ia harus mengakhiri ini. Ia meloncat mundur, mengambil jarak, lalu mengumpulkan seluruh sisa tenaga dalam dan daya batinnya pada satu titik. Udara di sekelilingnya seolah bergetar oleh energi yang terkonsentrasi.

"Terimalah ini, Kakang! Cakaran Maut Macan Kumbang!"

Ia melesat maju, kedua tangannya yang membentuk cakar dengan jari-jari yang dikeraskan laksana baja, mengarah lurus ke dada Arok. Ini adalah serangan pamungkasnya, sebuah jurus terlarang yang mampu merobek perisai kulit apalagi dada manusia. Sebuah serangan yang mempertaruhkan segalanya, serangan yang dilancarkan dengan keyakinan buta bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menahannya.

Kali ini, Arok tidak lagi mengelak. Ia berhenti menari.

Tepat ketika cakar maut itu hanya berjarak sejengkal dari dadanya, ketika semua penonton memejamkan mata karena ngeri, Arok melakukan sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang melampaui pemahaman mereka tentang pertarungan. Tubuhnya sedikit memutar pada porosnya, seperti gasing yang berputar lambat. Gerakan itu menciptakan sebuah ruang kecil. Dan dengan kecepatan yang tak bisa diikuti oleh mata telanjang, ujung jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya bergerak maju. Bukan untuk menyerang balik, bukan untuk menangkis, melainkan untuk melakukan sebuah totokan yang tampak sangat ringan di titik pertemuan urat di bagian dalam lengan kanan Mahesa.

Ctak!

Sebuah sentuhan yang nyaris tanpa suara. Sebuah kontak yang begitu singkat dan lembut. Namun akibatnya sungguh dahsyat dan seketika.

Seluruh tenaga yang telah dikumpulkan Mahesa dengan susah payah di ujung cakarnya, energi yang seharusnya mampu merobek batu, seolah lenyap dalam sekejap. Ia menguap seperti embun yang disinari matahari pagi. Aliran kekuatan dari bahu ke ujung jarinya terputus total, seolah ada bendungan yang tiba-tiba runtuh di tengah sungai. Tubuhnya yang melesat maju dengan kecepatan tinggi kehilangan semua kendali dan momentum. Kakinya tersandung oleh langkahnya sendiri, dan ia jatuh terjerembab dengan keras di depan kaki Arok. Bukan karena dorongan, bukan karena serangan balik, melainkan karena kekuatannya sendiri yang tiba-tiba hilang dan mengkhianatinya.

Keheningan total menyelimuti pelataran itu. Bahkan suara angin seolah berhenti berembus. Semua orang ternganga tak percaya. Mulut mereka terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Mahesa, sang Macan Kumbang yang perkasa, petarung terhebat kedua di antara mereka, telah dikalahkan. Dikalahkan tanpa Arok melepaskan satu pukulan pun yang berarti. Dikalahkan dengan sebuah sentuhan yang lebih mirip belaian daripada serangan.

Arok membungkuk. Gerakannya tetap tenang dan penuh wibawa. Ia mengulurkan tangannya dan membantu Mahesa berdiri. Wajah Mahesa pucat pasi, dipenuhi butiran keringat dan ekspresi kebingungan yang mendalam. Ia menatap tangannya sendiri, lalu menatap Arok, seolah mencoba memahami sihir apa yang baru saja terjadi.

"Kau lihat sekarang, Adi?" bisik Arok lembut, suaranya hanya cukup untuk didengar oleh Mahesa, namun ketenangannya terasa oleh semua orang. "Kekuatan terbesar tidak selalu datang dari hantaman yang paling keras atau teriakan yang paling lantang. Terkadang, ia datang dari sentuhan yang paling ringan di saat dan titik yang paling tepat."

Ia menepuk pundak Mahesa yang masih lunglai. "Api di dalam dirimu adalah anugerah. Semangatmu adalah kekuatan kita semua. Jangan pernah memadamkannya. Tapi jangan biarkan ia membakarmu secara membabi buta. Belajarlah untuk mengendalikannya, membentuknya menjadi panas yang terfokus, yang bisa melelehkan baja paling keras sekalipun, bukan sekadar api unggun besar yang berkobar sesaat lalu padam meninggalkan abu yang dingin."

Mahesa menatap Arok dengan pandangan yang sama sekali baru. Hilang sudah sisa-sisa kesombongan dan semangat kompetisinya. Kekagumannya kini telah bertransformasi menjadi rasa hormat yang begitu dalam, nyaris seperti rasa bakti. Ia akhirnya mengerti, bukan hanya dengan otaknya, tetapi dengan seluruh tubuhnya yang baru saja merasakan langsung kebenaran dari kata-kata itu. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, sebuah gestur pengakuan kalah dan penerimaan ajaran yang tulus. Tanpa mampu berkata-kata, ia hanya bisa mengangguk pelan.

Arok melepaskan pundak Mahesa dan berjalan kembali ke tempatnya semula, di tepi tebing yang menghadap ke jurang. Ia kembali duduk bersila, memandang lembah di bawahnya, seolah tidak terjadi apa-apa. Latihan tanding itu telah selesai.

Para pengikutnya kini menatapnya dengan cara yang berbeda. Mereka tidak lagi melihatnya hanya sebagai pemimpin yang berani dan cerdas. Mereka kini melihatnya sebagai seorang guru yang bijaksana, seorang empu dengan ilmu yang tak terduga kedalamannya. Gema kemenangan semalam yang riuh kini telah berganti menjadi keheningan yang penuh rasa hormat. Mereka mengerti, pemimpin mereka bukan hanya sekadar batu cadas yang kuat, tetapi juga angin yang tak terkalahkan.

Namun, di dalam hati Arok, gejolak itu belum sepenuhnya reda. Ia baru saja menunjukkan kekuatan Ilmu Angin Lereng Kawi. Sebuah ilmu yang mampu mengalahkan kekuatan besar dengan kelembutan. Sebuah ilmu yang berprinsip pada pemahaman, bukan penghancuran. Tapi ia juga sadar, setiap ilmu adalah pedang bermata dua. Ilmu yang sama, yang bisa digunakan untuk melindungi dengan cara yang paling efisien, juga bisa menjadi alat yang sangat licik dan berbahaya di tangan yang salah. Ia bisa digunakan untuk menipu, menjebak, dan menghancurkan dari dalam dengan cara yang paling halus. Kekuatan untuk melumpuhkan tanpa membunuh adalah juga kekuatan untuk menyiksa tanpa meninggalkan bekas.

Pelajaran hari ini bukan hanya untuk Mahesa. Itu juga sebuah pengingat bagi dirinya sendiri. Ia telah memilih jalan angin, jalan yang lentur dan tak berbentuk. Tapi jalan itu penuh dengan godaan. Godaan untuk menjadi terlalu licik, terlalu manipulatif. Godaan untuk menikmati kekuatan mengendalikan orang lain tanpa mereka sadari.

Pertanyaan itu kembali menghantuinya, lebih tajam dan lebih jelas dari sebelumnya. Apakah ia benar-benar mampu mengendalikan angin ini? Apakah ia mampu menjaga agar angin itu tetap menjadi angin sepoi-sepoi yang menyejukkan, dan tidak berubah menjadi angin puyuh yang merusak? Ataukah suatu saat nanti, ketika ia dihadapkan pada kekuasaan yang lebih besar, pada intrik istana yang lebih rumit, angin inilah yang akan berbalik, meniupnya ke dalam jurang kehancuran yang ia gali sendiri?

The question hung in the morning air, unanswered. It was a dark shadow on the bright horizon, a silent warning on the edge of the abyss for the leader himself. The journey was still long, and the hardest battle lay not with Tumapel, but with the shadow within himself.

⭐⭐⭐🇮🇩🇮🇩🇮🇩

Continued CHAPTER 04


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.