Bayangan Pemburu/ Takdir sang werewolf

Chapter 4: Bayangan di Ambang Kegelapan



Langkah Arvid dan Lina menggema di dalam gua yang mulai redup. Cahaya dari cincin di jari Arvid kini telah benar-benar padam, menyisakan sensasi dingin yang menjalari kulitnya. Ia menggenggam tangannya erat, mencoba merasakan apakah kekuatan itu masih ada—atau sudah pergi sepenuhnya.

Lina menatapnya dengan cemas. "Apa yang barusan terjadi, Arvid? Sosok bayangan itu... apakah itu bagian dari cincin?"

Arvid menghela napas. "Aku juga nggak tahu, Lina. Tapi yang jelas, ada sesuatu yang lebih besar daripada The Hunter. Sesuatu yang mengawasi kita."

Mereka berdua akhirnya keluar dari gua, dan cahaya bulan purnama menyambut mereka. Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan pepohonan tua. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam itu—udara terasa lebih berat, seolah-olah dunia sedang menahan napas.

Arvid menghentikan langkahnya. Ia memejamkan mata dan mencoba merasakan kehadiran yang ada di sekelilingnya. Dulu, sebelum semua ini terjadi, ia hanya seorang manusia biasa yang hidup dalam bayang-bayang kutukan. Tapi sekarang, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kutukan dalam dirinya.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan, terdengar suara langkah cepat. Arvid segera memasang kuda-kuda, siap menghadapi ancaman baru. Lina menarik belatinya, meski tangannya sedikit gemetar.

Sebuah sosok muncul dari kegelapan. Seorang pria dengan jubah hitam panjang dan mata perak yang berkilat dalam gelap. Wajahnya tertutup sebagian oleh bayangan kapucongnya, tetapi aura kekuatan yang terpancar darinya tidak bisa disangkal.

"Arvid," pria itu berkata dengan suara dalam dan berat. "Kamu telah mengacaukan keseimbangan."

Arvid menatapnya tajam. "Siapa kamu?"

Pria itu melangkah maju, dan saat cahaya bulan mengenai wajahnya, Arvid bisa melihat bekas luka panjang di pipinya. Matanya—mata perak itu—terlihat seperti milik seseorang yang telah melihat lebih banyak perang daripada yang bisa dihitung manusia biasa.

"Aku adalah pembawa pesan dari mereka yang tersembunyi dalam bayang-bayang," pria itu menjawab. "Dan aku di sini untuk memperingatkanmu. Dengan menolak perjanjian itu, kamu telah membuka jalan bagi sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Kegelapan yang selama ini tertidur... kini telah terbangun."

Arvid mengepalkan tinjunya. "Aku tidak menyesali keputusanku."

Pria itu mengangguk pelan. "Mungkin tidak sekarang. Tapi tak lama lagi, kamu akan melihat konsekuensinya."

Angin malam bertiup lebih kencang, dan dalam sekejap, pria itu menghilang, seolah-olah ia memang bagian dari bayangan itu sendiri.

Lina mendekat ke Arvid. "Kita harus mencari tahu lebih banyak. Jika ada sesuatu yang lebih besar dari The Hunter, kita tidak bisa hanya menunggu."

Arvid mengangguk. "Aku tahu tempat untuk memulai."

Mereka berdua berbalik, meninggalkan hutan, dengan satu tujuan di benak mereka—menemukan jawaban sebelum kegelapan benar-benar menelan mereka.

**

Malam semakin larut saat Arvid dan Lina bergerak cepat melewati hutan. Pohon-pohon tinggi yang menjulang seakan menatap mereka dalam keheningan yang menekan. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah sesuatu yang tak terlihat mengawasi mereka dari balik kegelapan.

"Kita mau ke mana?" tanya Lina, suaranya hampir tenggelam dalam suara angin yang bertiup kencang.

"Ke tempat yang bisa memberi kita jawaban," jawab Arvid tanpa ragu.

Lina mengangguk meski keraguan masih menyelimuti pikirannya. Ia tahu Arvid tidak pernah sembarangan mengambil keputusan, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—sebuah beban yang tampaknya lebih besar dari yang bisa ia tanggung sendiri.

Tiba-tiba, Arvid berhenti. Matanya menyipit, tubuhnya menegang.

"Lina... kau dengar itu?" bisiknya.

Lina menajamkan pendengarannya, tetapi yang terdengar hanya suara angin. Namun, detik berikutnya, sesuatu yang lain terdengar—sebuah bisikan, lirih namun jelas, datang dari segala arah.

"Arvid..."

Suara itu menggetarkan udara, bergema di antara pepohonan. Itu bukan suara manusia. Itu bukan suara dari dunia ini.

Arvid merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia menoleh ke kiri, lalu ke kanan, mencoba menemukan sumber suara itu. Namun, sebelum ia sempat bergerak, sesuatu menerjang dari dalam kegelapan.

Sebuah bayangan besar meluncur ke arah mereka, cepat seperti kilat. Arvid hanya sempat mendorong Lina ke samping sebelum cakar tajam melesat ke arahnya. Ia berusaha menghindar, tapi makhluk itu lebih cepat. Cakar itu menghantam bahunya, mengoyak kulitnya, dan darah segar mengalir di antara jari-jarinya.

Arvid mengerang, tapi tidak mundur. Dengan kekuatan yang tersisa, ia memukul balik, namun tinjunya hanya menembus udara kosong.

Makhluk itu menghilang dalam bayangan.

Lina bergegas mendekat. "Arvid! Kau baik-baik saja?"

Arvid menekan luka di bahunya, napasnya memburu. "Kita harus pergi dari sini. Sekarang!"

Namun, sebelum mereka sempat bergerak, bayangan itu kembali muncul—lebih dekat kali ini. Dua mata merah menyala menatap mereka dari dalam kegelapan, dan suara itu kembali terdengar, lebih jelas dan lebih mengerikan.

"Kamu pikir sudah lepas dari perjanjian itu, Arvid? Kamu salah besar."

Bayangan itu mulai bergerak, langkahnya nyaris tak bersuara di antara pepohonan. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan Lina bisa merasakan sesuatu yang aneh—seolah-olah mereka telah melewati batas dunia yang seharusnya tidak mereka masuki. Mata merah itu semakin dekat, dan kali ini, sosoknya mulai terlihat. Tinggi, kurus, tetapi kekuatannya terasa mengerikan. Ia bukan manusia, bukan juga serigala. Ia adalah sesuatu yang lain.

Arvid berusaha bergerak, tetapi tubuhnya terasa berat, seakan ada tangan tak kasatmata yang menahannya di tempat. Cincin di jarinya mulai berdenyut pelan, seolah-olah merespons kehadiran makhluk itu. Namun, bukannya memancarkan cahaya biru kehijauan seperti sebelumnya, cincin itu kini berkilau dengan warna gelap yang menakutkan. Seolah-olah ada sesuatu di dalamnya yang mencoba keluar.

Makhluk itu berhenti hanya beberapa langkah dari mereka, lalu menundukkan kepalanya sedikit, seolah-olah sedang mengamati Arvid dengan rasa puas. Kemudian, dengan suara yang dalam dan bergetar, ia berbisik, *"Kamu sudah membangunkan kami, Arvid. Dan sekarang, waktunya untuk membayar harga yang sebenarnya."

**

Next chapter will be updated first on this website. Come back and continue reading tomorrow, everyone!

Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.